TEROPONGNTT, KUPANG –“Karena itu, saya minta kepada para Kepala Desa untuk melarang agar keluarga miskin jangan lagi ada anak. Jika satu keluarga miskin tidak tambah anak lagi maka angka kemiskinan kita turun ke 18%. Saya mau dimarahi oleh siapapun, saya tidak repot.”
Hal ini diungkapkan oleh Bapak Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) pada saat rapat kerja (Raker) bersama pemerintah TTS, Kamis 13 Februari lalu. Sehari sebelumnya, pernyataan yang mirip juga dikeluarkan oleh Wakil Gubernur (Wagub) NTT, Drs. Josef Nae Soi, M.M (JNS), “Stunting erat hubungannya dengan kemiskinan”.
Selanjutnya, Staf Ahli Gubernur NTT, Prof. Dr. Daniel D. Kameo (DDK) dalam opininya menulis, Jumlah Anggota Keluarga Miskin Menentukan Tinggi-Rendahnya Garis Kemiskinan Di NTT. Data terakhir dari BPS (Januari 2020) menujukkan bahwa jumlah penduduk miskin di NTT per September 2019 sebanyak 1.129.460 jiwa (20,62 persen), secara nasional Provinsi NTT masih tetap berada pada urutan provinsi ketiga termiskin di Indonesia secara presentasi setelah Provinsi Papua (26,55 persen) dan Papua Barat (21,51 persen).
Secara rata-rata data BPS menujukkan bahwa jumlah anggota per rumah tangga di NTT pada tahun 2019 adalah 4,6 orang. Namun demikian, rata-rata jumlah anggota rumah tangga keluarga miskin lebih tinggi yakni 5,8 atau sekitar 6 orang per rumah tangga. Artinya benar bahwa ada kaitan antara kemiskinan dan jumlah penduduk. Data dari BKKBN Provinsi NTT juga menunjukkan hal yang sama dimana tingkat kemiskinan terbanyak ada pada mereka yang memiliki anak yang banyak. Hal ini tentu membenarkan pernyataan Gubernur VBL yang melarang orang miskin untuk memiliki banyak anak.
Muara semua persoalan ada pada kemiskinan. Salah satu hal yang berhubungan langsung adalah jumlah anak. Rata-rata orang yang mampu secara ekonomi memiliki anak yang terencana dengan baik. Hal ini memudahkan mereka dalam memenuhi semua kebutuhan anak mulai dari kebutuhan dasar hingga pendidikan dan masa depan mereka.
Berbeda dengan masyarakat miskin, mereka tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni mengenai hal ini. Intinya bisa hidup saja sudah cukup. Hal ini yang harus diluruskan. Hal ini yang terus disasar oleh Rektor Universitas Citra Bangsa (UCB), Dr. Jeffrey Jap., drg.M.Kes (JJ). Secara teori dan kajian akademis, persoalan stunting, kematian ibu dan bayi, kemiskinan dan jumlah anak memiliki hubungan yang saling mempengaruhi.
“Pada titik ini kami institusi pendidikan kesehatan berdiri pada garda paling depan. Kami terus mengkampanyekan isu-isu kependudukan dan KB secara terstruktur dalam kurikulum dan masif dalam pengabdian kepada masyarakat. Sejak 2013 kami telah berkomitmen memberikan pelayanan akseptor kepada seluruh masyarakat dengan tagline 1000 akseptor. Saat ini kami telah melayani lebih dari 9000 akseptor dan mere-launching program kami menjadi 10.000 akseptor. Inilah kontribusi nyata kami untuk mengatasi persoalan ini,” demikian pernyataan Rektor yang dikenal dengan “Pejuang Akseptor” ini.
(VM)
Sumber : TEROPONGNTT, KUPANG